Info langsung – Jepang menghadapi krisis demografis yang semakin mendalam, dengan penurunan signifikan dalam angka kelahiran yang mengkhawatirkan. Masalah ini mencerminkan perubahan sosial yang kompleks, termasuk kecenderungan banyak warga yang memilih untuk tetap melajang hingga usia lanjut.
Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Jepang, jumlah kelahiran pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 350.074, mengalami penurunan sebesar 5,7 persen atau 20.978 dibandingkan tahun lalu. Angka ini merupakan level terendah sejak 1969. Fenomena ini mencerminkan tren yang lebih luas di Jepang, di mana banyak pemuda enggan menikah atau memiliki anak, sehingga memperburuk masalah populasi yang semakin menua.
“Baca juga: Gaya Hidup Minuman Energi, Antara Tren Dan Kebutuhan”
Kondisi ini diperparah oleh tingginya jumlah orang yang belum menikah di usia lanjut. Di Tokyo, misalnya, jumlah orang berusia 50 tahun yang belum menikah adalah yang tertinggi di Jepang, dengan 32 persen pria dan 24 persen wanita masih melajang. Data ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya berkisar pada generasi muda, tetapi juga mencakup individu yang lebih tua.
Penurunan angka pernikahan dan meningkatnya angka perceraian turut mempengaruhi penurunan angka kelahiran. Jumlah pernikahan per 1.000 orang turun drastis dari 10 pada tahun 1970 menjadi 4,1 pada tahun 2022. Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan demografis yang semakin sulit diatasi.
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari krisis ini adalah fenomena “lonely death” atau kematian kesepian. Berdasarkan laporan Badan Kepolisian Jepang, selama paruh pertama tahun 2024, terdapat sekitar 37.227 kasus kematian sendirian di rumah. Dari jumlah tersebut, 3.939 jenazah baru ditemukan sebulan setelah kematian mereka, dan 130 jenazah lainnya baru ditemukan setelah satu tahun meninggal dunia.
Kelompok usia 85 tahun ke atas merupakan yang terbanyak dalam temuan ini, diikuti oleh usia 75-79 tahun dan 70-74 tahun. Peningkatan jumlah orang yang meninggal sendirian menggarisbawahi masalah serius dalam struktur sosial dan dukungan komunitas di Jepang.
“Simak juga: Hipertensi, Mengapa Obatnya Harus Diminum Rutin?”
Institut Nasional Jepang untuk Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial memperkirakan bahwa jumlah warga berusia 65 tahun ke atas yang hidup sendiri akan terus meningkat, mencapai 10,8 juta orang pada tahun 2050. Selain itu, jumlah rumah tangga yang hanya dihuni oleh satu orang diperkirakan akan mencapai 23,3 juta pada tahun yang sama.
Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi menegaskan, “Penurunan angka kelahiran berada dalam situasi kritis. Enam tahun ke depan atau lebih hingga 2030 akan menjadi kesempatan terakhir untuk membalikkan tren tersebut.”
Dengan tantangan-tantangan yang ada, Jepang harus menghadapi kebutuhan mendesak untuk reformasi sosial dan kebijakan guna mengatasi krisis demografis ini. Solusi berkelanjutan dan strategis sangat diperlukan untuk memastikan masa depan yang lebih stabil dan seimbang bagi negara ini.